Selasa, 15 April 2014

Apa Betul Bisnis VSI Tidak Sesuai Syariah?

Apa Betul Bisnis VSI Tidak Sesuai Syariah?
Dalam sebuah twitnya, Ustad Yusuf_Mansur
menyatakan : "Makasih buat yang sdh menulis artikel
ini. InsyaaAllah saya terus memproses. Salam hormat.
http://m.kompasiana.com/post/read/647700/1/
tentang-vsi-apa-betul-bisnis-vsi-tidak-sesuai-
syariah.html
Berikut kami copy paste tulisan dari link website
tersebut di atas:
Judul tersebut sengaja saya angkat karena bisnis VSI
saat ini tengah menjadi salah satu topik terhangat di
dunia maya, khususnya social media. Ini tidak lain
karena melibatkan salah seorang ustadz yang cukup
ternama di negeri ini, yaitu Ustadz Yusuf Mansur. Dari
hasil observasi yang saya lakukan, kelihatannya opini
yang berseliweran di dunia maya ini agak kurang
berimbang, terutama antara yang pro dengan yang
kontra. Salah satu isu yang menonjol dan
mengundang perdebatan yang sangat intensif adalah :
apakah bisnis VSI ini sesuai syariah atau tidak?
Untuk itu, saya mencoba menganalisis secara obyektif
tentang bisnis VSI dari perspektif ekonomi syariah.
Tentu tanpa bermaksud mendahului proses di DSN
MUI, yang memiliki otoritas mengeluarkan sertifikasi
halal bisnis. Ustadz Yusuf Mansur pernah mengatakan
bahwa proses pengajuan ke DSN MUI sudah dilakukan,
tinggal sekarang menunggu proses berikutnya. Sambil
menunggu proses di DSN, saya mencoba
mengidentifikasi beberapa hal pokok yang menjadi
sumber perdebatan selama ini.
Isu 1: Core business VSI
Isu ini perlu diangkat karena saya melihat adanya bias
terhadap bisnis utama VSI ini, dan secara syariah,
core business ini menentukan apakah bisnis VSI ini
melanggar syariah atau tidak. Kalau kita lihat secara
mendalam, bisnis utama VSI adalah payment
technology. Adapun habbatus sauda dan buku,
menurut saya itu hanyalah pelengkap dari paket
penjualan. Intinya, bisnis aplikasi software untuk
pembayaran. Secara syariah, tentu bisnis ini tidak ada
masalah. Peruntukannya jelas, yaitu untuk membantu
kita melakukan sejumlah transaksi yang biasa kita
lakukan sehari-hari, seperti bayar pulsa, listrik, dan
lain-lain.
Yang dipermasalahkan adalah, kenapa harga aplikasi
ini sampai mencapai angka Rp 275 ribu? Sementara
banyak aplikasi lain yang gratis. Ini dianggap
mengundang “kecurigaan” bahwa uangnya akan
dipakai dalam skema yang mengarah kepada money
game. Dan kita sama-sama tahu kalau money game
itu tidak sesuai syariah.
Terhadap isu ini, jawaban saya sederhana. Pertama,
adalah tidak fair kalau kita membandingkan aplikasi
VPay ini dengan aplikasi gratisan yang tersedia di
internet. Mestinya kalau mau membandingkan,
bandingkan dengan aplikasi lain yang sejenis agar
apple to apple, seperti mobile banking suatu bank atau
teknologi paypal. Tidak mungkin seseorang bisa
menggunakan aplikasi mobile banking kalau ia tidak
menjadi nasabah di bank tersebut, dimana ia harus
membuka akun dengan nominal tertentu. Intinya, jadi
nasabah dulu, baru bisa memanfaatkan layanannya.
Demikian pula dengan teknologi paypal yang tidak
gratis.
Kedua, sah-sah saja secara syariah, sebuah
perusahaan menjual produk pada tingkat harga
tertentu. Adalah hak VSI untuk menjual teknologi Vpay
pada level harga berapapun, baik Rp 275 ribu, lebih
kecil dari Rp 275 ribu, maupun lebih besar dari angka
tersebut. Sama seperti orang jualan bakso, kenapa
harga bisa berbeda antara warung bakso satu dengan
warung bakso lainnya. Itu kan terserah penjual
masing-masing, setelah mereka mempertimbangkan
berbagai faktor. Dan bukan hak kita untuk mengotak-
atik harga jual bakso di warung tersebut. Kalau tidak
mau beli, ya tidak masalah. Kalau mau beli, ya
harganya sebesar itu. Simpel.
Hasil penjualan warung bakso itu menjadi hak penuh
warung tersebut. Sama seperti saat kita bekerja dan
mendapat gaji. Adalah hak kita untuk memanfaatkan
gaji tersebut untuk apa saja. Tentu kita berharap
bahwa pemanfaatan dana tersebut sesuai dengan
syariah, misalnya dengan mengeluarkan zakat, infak
dan shadaqahnya terlebih dahulu sebelum
dibelanjakan untuk hal lain.
Saya juga mendengar bahwa manajemen VSI sudah
banyak melakukan pembenahan dan bersiap-siap
menjadi perusahaan sangat besar. Transaksi per awal
April sudah sangat lancar. Sedangkan transaksi itu
adalah core-business dari VSI.
Isu 2 : Masalah dua akad dalam satu transaksi,
makelar atas makelar, dan cash back
Dalam Islam, Rasul dengan tegas melarang dua akad
dalam satu kontrak. Demikian pula dengan persoalan
makelar atau samsarah, dimana “samsarah ‘alaa
samsarah” itu tidak boleh. Buat yang masih bingung
tentang “samsarah ‘alaa samsarah”, silakan di-
googling sendiri.
Sekarang mari kita lihat praktek VSI hari ini. Yang
saya amati, VSI yang sekarang telah memisahkan
antara akad untuk pengguna atau user dengan akad
untuk mitra bisnisnya. Akad untuk user adalah akad
jual beli biasa, dimana seseorang membeli VPay untuk
ia gunakan sendiri. Dalam jual beli atau al-bai’, terjadi
pertukaran antara uang dengan barang. Barangnya,
dalam hal ini aplikasi VPay, menjadi milik user,
sedangkan uangnya, menjadi milik perusahaan. Saya
rasa ini clear.
Kemudian, buat mereka yang tertarik menjadi mitra
bisnis VSI, harus mengisi form lagi. Dengan kata lain,
harus melakukan akad terpisah sebagai agennya VSI,
dan akan mendapatkan hak dan kewajiban sesuai
kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. Jadi buat
saya, bisnis VSI ini jelas. Tidak ada dua akad dalam
satu transaksi.
Bagaimana dengan bisnis para mitra dan kaitannya
dengan “samsarah ‘alaa samsarah” dan skema ponzi?
Sebelum masuk kedalam isu itu, ada baiknya kita
sepakati esensi dari suatu bisnis. Esensi bisnis adalah
menjual produk sebanyak-banyaknya kepada
sebanyak-banyaknya konsumen. Jadi dua hal yang
penting, yaitu : jumlah produk yang terjual dan jumlah
pengguna yang memakai produk kita. Nah, para mitra
ini harus memenuhi dua target ini: pasarkan VSI
kepada masyarakat seluas-luasnya, dan ajak
masyarakat untuk menggunakan aplikasi teknologi ini
sesering-seringnya. Ada target omset yang harus
dipenuhi. Besarnya omset ini akan mempengaruhi
besarnya pendapatan yang akan dinikmati oleh para
mitra. Makin besar omset, ya pendapatannya makin
besar. Masuk akal bukan?
Bagaimana cara mengajak masyarakat sebanyak-
banyaknya? Ya ajak mereka untuk menjadi pengguna
(user) atau menjadi mitra bisnis. Kalau masyarakat
memilih jadi pengguna saja, maka ajak mereka untuk
memakai aplikasi VPay ini sesering-seringnya. Kalau
mereka tertarik untuk ikutan berbisnis, maka menjadi
mitra bisnis adalah pilihan yang tepat. Jadi, masalah
“member get member” adalah dalam kerangka ini,
yaitu mencari pengguna atau mitra bisnis sebanyak-
banyaknya. Ini sesuatu yang tidak masalah dalam
Islam.
Bagaimana dengan “samsarah ‘alaa samsarah”?
Menurut saya, skema bisnis VSI tidak mengarah pada
“samsarah ‘alaa samsarah” (kita singkat SAS biar
mudah). SAS yang mengarah pada pendzoliman terjadi
ketika A merekrut B, B merekrut C, dan C merekrut D,
sementara A menerima bonus/komisi dari kerja B
merekrut C dan C merekrut D, B menerima bonus/
komisi dari kerja C merekrut D, dan D tidak dapat
apa-apa kecuali ia merekrut E dan seterusnya. Tentu
yang dizalimi adalah D dalam hal ini. Dalam skema
money game, selalu downline terbawah yang dizalimi.
Apakah VSI seperti itu?
Sekarang kita lihat, apa yang dilakukan VSI. Pertama,
soal angka penjualan software yang mencapai Rp 275
ribu, itu sah-sah saja sebagaimana yang telah saya
jelaskan di atas. Bahwa kemudian perusahaan
memberikan bonus kepada mitra yang berhasil
menggaet seorang user atau mitra bisnis baru, itu juga
sah-sah saja secara syariah. Ini karena status uang
tersebut adalah milik perusahaan, sehingga
perusahaan bebas menggunakannya. Mau memberi
bonus kepada si A, B C, dan D, atau tidak memberi
bonus sama sekali, itu hak perusahaan. Kalau anda
punya uang, maka anda bebas memanfaatkannya
bukan?
Kedua, terkait dengan cash back. Dalam suatu
transaksi, misal isi pulsa, cash back-nya Rp 1800,
dimana Rp 800 masuk ke perusahaan, dan sisanya Rp
1000 diberikan kepada mereka yang menggunakan
aplikasi ini. Dalam contoh di atas, baik si A, B, C
maupun D sama-sama menggunakan jasa VPay.
Dalam konsep ini, apakah downline yang paling
bawah, yaitu si D, dirugikan karena dari Rp 800
tersebut, perusahaan membagikannya dalam bentuk
bonus kepada si A, B, dan C? Jawabannya, tentu
tidak. Mengapa? Karena si D telah mendapatkan
haknya, yaitu Rp 1000 sebagai cash back dari
transaksi yang dilakukannya. Adapun yang Rp 800,
sekali lagi itu adalah uang milik perusahaan, yang
bebas digunakan oleh perusahaan. Dalam hal ini, VSI
memberikan “bagian” keuntungannya sebagai stimulus
kepada para mitra bisnisnya, dengan kriteria dan
syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh mitra
tersebut. Diantara kriterianya adalah besarnya omset
yang dihasilkan. Ingat ya, besarnya omset yang
dihasilkan.
Kezaliman baru muncul ketika hak si D yang Rp 1000
tersebut dikurangi secara sengaja, atau diambil untuk
membayar C, B dan A. Ketentuan cash back Rp 1000
berlaku secara adil kepada A, B, C dan D. Kalau D
lebih sering memakai layanan VPay, maka boleh jadi ia
mendapatkan cash back yang lebih besar dari A, B
dan C.
Jadi, skema “samsarah ‘alaa samsarah” tidak berlaku
disini. Disinilah pentingnya kejelasan akad yang
dilakukan. Dan VSI telah secara jelas menerapkan
akad yang terpisah, baik dengan pengguna (user)
maupun mitra bisnisnya.
Kesimpulannya, secara syariah, menurut saya tidak
ada pihak yang dizalimi, sehingga tidak bertentangan
dengan syariah. Skema bisnis VS juga jelas-jelas
bukan skema money game. Tidak ada pihak yang
dirugikan. Saya menduga, munculnya tudingan money
game ini ketika melihat marketing plan-nya VSI di
awal-awal berdirinya VSI. Tapi kalau lihat kondisi VSI
hari ini, terlihat hal yang sangat jauh berbeda. Ini bisa
dilihat dari website resmi VSI, yaituwww.klikvsi.co.id,
bukan dari website-website lain yang
mengatasnamakan VSI.
Gagasan aplikasi teknologi pembayaran ini menurut
saya juga sangat cemerlang. Apalagi saya mendengar
informasi bahwa VSI juga akan mengembangkan e-
book dan e-training Ust Yusuf Mansur, serta berbagai
aplikasi lain ke depannya. Ini tentu misi besar yang
harus kita dukung, sehingga niat membeli kembali
Indonesia yang selama ini digembar gemborkan Ust
Yusuf Mansur, bisa direalisasikan dengan baik.
Saya juga berharap semoga proses di DSN MUI bisa
berjalan dengan lebih cepat, supaya pihak-pihak yang
menaruh perhatian pada VSI, tidak menduga-duga lagi
soal kesyariahan bisnis ini. Dan untuk VSI, memang
harus ada penyamaan SOP (standard of operating
procedure) terkait dengan pemasaran produk VPay ini,
agar masyarakat bisa memahami hakekat bisnis VSI
ini dengan lebih baik, sehingga persepsi bahwa
seolah-olah bisnis ini mengandung unsur money
game, bisa dikikis dan dihilangkan. Juga kepada para
mitra bisnis VSI, agar memahami konsep akad dan
bisnis yang dikembangkan VSI. Tujuannya, supaya
tidak salah dalam menjelaskan keunggulan produk VSI
ini. Wallahu a’lam.
Bersama Kita Bisa,
VSI Menuju 10 Juta Komunitas
Semoga bermanfaat & barokah. Aamiin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar